The
Man Who Stares At The Sun
Hari ini masih sama seperti hari –
hari kemarin, hari yang membosankan dan nampak tak berarti apa – apa, dan aku
masih tetap berada disini, berada dalam ruangan luas berliku seolah tak
bertepi, termenung meratapi kemalangan nasibku, suasana disini sepi mencekam dan
jauh dari peradaban, untungnya aku disini tidak sendiri, aku ditemani oleh
seorang lelaki paruh baya dengan tubuh
yang mulai renta dan wajah penuh kerutan yang menunjukkan betapa banyaknya
beban pikiran hidupnya. Lelaki paruh baya yang renta itu adalah ayahku, dia
bernama Daedalus, orang – orang sangat mengenal baik ayahku, mereka
memanggilnya dengan sebutan “Daedalus sang Jenius”. Kami terkurung disini lebih
dari satu tahun, labirin yang pada mulanya dibuat oleh ayah untuk mengurung seorang
raja yang sangat jahat dari kerajaan musuh, raja itu bernama Minotaur, seorang
raja yang memiliki kekuasaan absolut, seorang diktator besar pada masa ini.
Ayah diperintahkan untuk membuat
labirin ini oleh raja dari kerajaan kami yaitu raja Minos, yang memiliki
kerajaan yang terbentang luas meliputi kota Athena dan kota – kota kecil
disekitarnya, labirin ini memang dibuat oleh ayah, tapi kami tetap saja tidak
bisa keluar dari labirin ini, struktur bangunannya yang kuat dan rumit, tidak
akan pernah bisa ditembus oleh manusia manapun, termasuk ayah sang penciptanya,
karena memang setiap karya dan penemuan ayah sudah pasti memiliki kesempurnaan
tanpa kelemahan sedikitpun. Kami memang sudah terkurung sekian lama,
diakibatkan oleh kekalahan kerajaan kami dalam berperang, ada penyusup yang
berhasil memasuki ibukota kerajaan kami, lalu dia mengambil semua dokumen –
dokumen penting dan membocorkan semua jumlah kekuatan daya tempur kerajaan
kami, setelah itu kerajaan kami pun diserang oleh kerajaan musuh dengan jumlah
tentara yang mencapai 300.000 personil, karena daya tempur yang tak seimbang,
akhirnya kerajaan kami pun kehilangan salah satu kota yang merupakan basis
militer kami, kami kehilangan satu kota yang berharga.
“Nyawa
dibayar nyawa, kekalahan dibayar dengan hukuman,” itulah kata – kata raja Minos
yang ditujukan kepada ayah, aku masih mengingatnya, selalu terbesit dalam
benakku. Padahal kekalahan kami bukanlah semata – mata kesalahan ayah,
melainkan lemahnya penjagaan di daerah perbatasan dan gerbang utama kerajaan.
Tapi karena ayah merupakan orang yang sangat patuh akan hukum dan rela
memperjuangkan dan mempertaruhkan apapun demi kerajaan, akhirnya diapun
memutuskan untuk dipenjara dalam labirin buatannya sendiri. Aku tak kuasa melihat
ayah dikurung sendirian, oleh karena itu, akupun memutuskan diri untuk menemani
ayah dalam menjalani hukuman seumur hidupnya.
Hari demi hari, minggu ketemu minggu
lagi, bulan demi bulan, sampai akhirnya bertahun – tahun kami jalani hari –
hari penuh penderitaan ini, dalam menjalani masa hukumannya, ayah tetap tegar
dan terus membuat karya - karya penemuan untuk mengatasi kebosanan dalam
dirinya, untungnya tuhan pun melindungi kita dalam kesedihan tiada akhir ini,
pohon – pohon dan buah – buahan tumbuh subur disekeliling labirin ini, jadi
kita tidak pernah merasakan kelaparan, pasti ada saja sesuatu yang bisa kita
makan. Tapi pada hari ini, entah mengapa, rasanya aku ingin sekali bebas, ingin
sekali melihat dunia luar yang sangat luas dan penuh akan keindahan, aku ingin
mengakhiri penderitaan ini dan hidup lagi sebagai seorang manusia pada umumnya.
“Ayah, aku bosan, ayo kita kabur
dari labirin ini, sudah cukup lama kita disini, tidak seharusnya kita menjalani
hukuman ini,” kataku mengajak ayah untuk kabur dari labirin ini.
“Tidak bisa Ikarus, ini merupakan
hukuman seumur hidup bagi ayah, ayah harus tetap menjalaninya sampai akhir
hayat ayah,” kata ayah padaku.
“Ayolah ayah, inikan bukan kesalahan
ayah, untuk apa ayah menjalani hukuman yang tidak seharusnya ayah jalani?,”
“Tapi ayah tidak tau harus berbuat
apa, ayah saja yang menciptakan labirin ini tidak tau jalan keluarnya, kita kan
sudah berkali – kali mencoba, tapi tetap tidak berhasil,”
“Pikirkanlah sesuatu ayah, ayah kan
seorang yang jenius, Daedalus sang penemu yang hebat,”
“Baiklah, ayah akan mencoba membuat
sebuah penemuan hebat yang bisa membuat kita bebas dari labirin ini,”
Setelah cukup lama berfikir, ayah
tersenyum seolah menunjukkan kesenangan yang luar biasa, seolah memberikan
harapan padaku bahwa kita bisa untuk keluar dari labirin ini.
“Ayah tersenyum, apa ayah sudah
menemukan ide yang brilian?,” kataku
“Iya, ayah sudah menemukan titik
terang dari masalah kita selama ini,”
“Apa yang akan ayah buat?,” kataku
semakin penasaran.
“Ayah akan membuat sepasang sayap
untukmu dan sepasang sayap untuk ayah,”
“hebat, itu ide yang brilian, ayo
ayah, lekas kita buat saja sayap – sayap itu,” kataku.
Akhirnya kita berdua mulai merakit
sayap dari bulu – bulu angsa dan direkatkan dengan lem. Maka jadilah dua pasang
sayap paling keren yang pernah dibuat manusia. Sebelum terbang, ayah
menasihatiku.
“Oh ikarus, janganlah terbang
terlalu rendah, karena sayapmu bisa basah oleh air laut, dan janganlah terbang
terlalu tinggi, karena sayapmu bisa terbakar oleh matahari,”
Akupun akhirnya terbang, mataku
terbelalak melihat keindahan alam disekitarku, semuanya sangat berbeda dibanding
dulu, keindahan laut Aegia yang terhampar luas sejauh mata memandang, dan
keindahan kota athena yang megah. Aku berkali – kali melakukan manuver diudara,
seolah tidak mengindahkan segala nasihat dari ayah. Aku terus menuruti hasrat
jiwa mudaku yang sedang bergejolak, aku berkali – kali membuat ayah mengelus
dada, aku terbang terlalu rendah amat dekat dengan laut. Kemudian aku terbang
sangat tinggi, terus – menerus semakin tinggi, dan sampai sangat tinggi, hingga
akhirnya terlalu tinggi, terlampau tinggi dan sudah terbuai dengan awan putih
yang lembut dan benakku sudah sampai pada hembusan angin dalam kebebasan
cakrawala yang begitu luas. Lalu aku berpikir untuk dapat lebih tinggi dari
ini. Aku mencari tantangan, menuju matahari yang hari itu bersinar dengan
teriknya. Setelah sampai pada titik dimana suhu udara sudah mulai memanas aku
terus melayang, ku kepakkan kedua sayapku hingga kulihat lilin yang merekatkan
sayapku meleleh terbakar matahari. Akhirnya satu – persatu hingga berhelai –
helai sayap angsa yang sudah dirakit pun berguguran, aku tak mampu menahan
gravitasi, aku tak mampu menahan kekuatan alam yang diciptakan begitu sempurna
oleh tuhan. Akhirnya akupun jatuh, aku terjatuh bebas dan terhempas begitu
keras di laut, dan kini kusatukan ragaku dengan tanah sedangkan jiwaku
kubiarkan terbang melewati cumulus, nimbus, sirius, atmosfir dan akhirnya
bergabung dengan sang mentari. aku tidak merasakan sakit, lebih tepatnya aku
tidak merasakan apa – apa lagi… dan lebih dari itu… aku…, aku.. seperti
merasakan… sebuah kedamaian. Aku bisa beristirahat dengan tenang, dan siap
menghadap tuhan sang pencipta.
(Firman Adiyatma in Short Story The Man Who Stares At the Sun)
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar