Rabu, 18 April 2012


The Man Who Stares At The Sun

            Hari ini masih sama seperti hari – hari kemarin, hari yang membosankan dan nampak tak berarti apa – apa, dan aku masih tetap berada disini, berada dalam ruangan luas berliku seolah tak bertepi, termenung meratapi kemalangan nasibku, suasana disini sepi mencekam dan jauh dari peradaban, untungnya aku disini tidak sendiri, aku ditemani oleh seorang  lelaki paruh baya dengan tubuh yang mulai renta dan wajah penuh kerutan yang menunjukkan betapa banyaknya beban pikiran hidupnya. Lelaki paruh baya yang renta itu adalah ayahku, dia bernama Daedalus, orang – orang sangat mengenal baik ayahku, mereka memanggilnya dengan sebutan “Daedalus sang Jenius”. Kami terkurung disini lebih dari satu tahun, labirin yang pada mulanya dibuat oleh ayah untuk mengurung seorang raja yang sangat jahat dari kerajaan musuh, raja itu bernama Minotaur, seorang raja yang memiliki kekuasaan absolut, seorang diktator besar pada masa ini.
            Ayah diperintahkan untuk membuat labirin ini oleh raja dari kerajaan kami yaitu raja Minos, yang memiliki kerajaan yang terbentang luas meliputi kota Athena dan kota – kota kecil disekitarnya, labirin ini memang dibuat oleh ayah, tapi kami tetap saja tidak bisa keluar dari labirin ini, struktur bangunannya yang kuat dan rumit, tidak akan pernah bisa ditembus oleh manusia manapun, termasuk ayah sang penciptanya, karena memang setiap karya dan penemuan ayah sudah pasti memiliki kesempurnaan tanpa kelemahan sedikitpun. Kami memang sudah terkurung sekian lama, diakibatkan oleh kekalahan kerajaan kami dalam berperang, ada penyusup yang berhasil memasuki ibukota kerajaan kami, lalu dia mengambil semua dokumen – dokumen penting dan membocorkan semua jumlah kekuatan daya tempur kerajaan kami, setelah itu kerajaan kami pun diserang oleh kerajaan musuh dengan jumlah tentara yang mencapai 300.000 personil, karena daya tempur yang tak seimbang, akhirnya kerajaan kami pun kehilangan salah satu kota yang merupakan basis militer kami, kami kehilangan satu kota yang berharga.
“Nyawa dibayar nyawa, kekalahan dibayar dengan hukuman,” itulah kata – kata raja Minos yang ditujukan kepada ayah, aku masih mengingatnya, selalu terbesit dalam benakku. Padahal kekalahan kami bukanlah semata – mata kesalahan ayah, melainkan lemahnya penjagaan di daerah perbatasan dan gerbang utama kerajaan. Tapi karena ayah merupakan orang yang sangat patuh akan hukum dan rela memperjuangkan dan mempertaruhkan apapun demi kerajaan, akhirnya diapun memutuskan untuk dipenjara dalam labirin buatannya sendiri. Aku tak kuasa melihat ayah dikurung sendirian, oleh karena itu, akupun memutuskan diri untuk menemani ayah dalam menjalani hukuman seumur hidupnya.
            Hari demi hari, minggu ketemu minggu lagi, bulan demi bulan, sampai akhirnya bertahun – tahun kami jalani hari – hari penuh penderitaan ini, dalam menjalani masa hukumannya, ayah tetap tegar dan terus membuat karya - karya penemuan untuk mengatasi kebosanan dalam dirinya, untungnya tuhan pun melindungi kita dalam kesedihan tiada akhir ini, pohon – pohon dan buah – buahan tumbuh subur disekeliling labirin ini, jadi kita tidak pernah merasakan kelaparan, pasti ada saja sesuatu yang bisa kita makan. Tapi pada hari ini, entah mengapa, rasanya aku ingin sekali bebas, ingin sekali melihat dunia luar yang sangat luas dan penuh akan keindahan, aku ingin mengakhiri penderitaan ini dan hidup lagi sebagai seorang manusia pada umumnya.
            “Ayah, aku bosan, ayo kita kabur dari labirin ini, sudah cukup lama kita disini, tidak seharusnya kita menjalani hukuman ini,” kataku mengajak ayah untuk kabur dari labirin ini.
            “Tidak bisa Ikarus, ini merupakan hukuman seumur hidup bagi ayah, ayah harus tetap menjalaninya sampai akhir hayat ayah,” kata ayah padaku.
            “Ayolah ayah, inikan bukan kesalahan ayah, untuk apa ayah menjalani hukuman yang tidak seharusnya ayah jalani?,”
            “Tapi ayah tidak tau harus berbuat apa, ayah saja yang menciptakan labirin ini tidak tau jalan keluarnya, kita kan sudah berkali – kali mencoba, tapi tetap tidak berhasil,”
            “Pikirkanlah sesuatu ayah, ayah kan seorang yang jenius, Daedalus sang penemu yang hebat,”
            “Baiklah, ayah akan mencoba membuat sebuah penemuan hebat yang bisa membuat kita bebas dari labirin ini,”
            Setelah cukup lama berfikir, ayah tersenyum seolah menunjukkan kesenangan yang luar biasa, seolah memberikan harapan padaku bahwa kita bisa untuk keluar dari labirin ini.
            “Ayah tersenyum, apa ayah sudah menemukan ide yang brilian?,” kataku
            “Iya, ayah sudah menemukan titik terang dari masalah kita selama ini,”
            “Apa yang akan ayah buat?,” kataku semakin penasaran.
            “Ayah akan membuat sepasang sayap untukmu dan sepasang sayap untuk ayah,”
            “hebat, itu ide yang brilian, ayo ayah, lekas kita buat saja sayap – sayap itu,” kataku.
            Akhirnya kita berdua mulai merakit sayap dari bulu – bulu angsa dan direkatkan dengan lem. Maka jadilah dua pasang sayap paling keren yang pernah dibuat manusia. Sebelum terbang, ayah menasihatiku.
            “Oh ikarus, janganlah terbang terlalu rendah, karena sayapmu bisa basah oleh air laut, dan janganlah terbang terlalu tinggi, karena sayapmu bisa terbakar oleh matahari,”
            Akupun akhirnya terbang, mataku terbelalak melihat keindahan alam disekitarku, semuanya sangat berbeda dibanding dulu, keindahan laut Aegia yang terhampar luas sejauh mata memandang, dan keindahan kota athena yang megah. Aku berkali – kali melakukan manuver diudara, seolah tidak mengindahkan segala nasihat dari ayah. Aku terus menuruti hasrat jiwa mudaku yang sedang bergejolak, aku berkali – kali membuat ayah mengelus dada, aku terbang terlalu rendah amat dekat dengan laut. Kemudian aku terbang sangat tinggi, terus – menerus semakin tinggi, dan sampai sangat tinggi, hingga akhirnya terlalu tinggi, terlampau tinggi dan sudah terbuai dengan awan putih yang lembut dan benakku sudah sampai pada hembusan angin dalam kebebasan cakrawala yang begitu luas. Lalu aku berpikir untuk dapat lebih tinggi dari ini. Aku mencari tantangan, menuju matahari yang hari itu bersinar dengan teriknya. Setelah sampai pada titik dimana suhu udara sudah mulai memanas aku terus melayang, ku kepakkan kedua sayapku hingga kulihat lilin yang merekatkan sayapku meleleh terbakar matahari. Akhirnya satu – persatu hingga berhelai – helai sayap angsa yang sudah dirakit pun berguguran, aku tak mampu menahan gravitasi, aku tak mampu menahan kekuatan alam yang diciptakan begitu sempurna oleh tuhan. Akhirnya akupun jatuh, aku terjatuh bebas dan terhempas begitu keras di laut, dan kini kusatukan ragaku dengan tanah sedangkan jiwaku kubiarkan terbang melewati cumulus, nimbus, sirius, atmosfir dan akhirnya bergabung dengan sang mentari. aku tidak merasakan sakit, lebih tepatnya aku tidak merasakan apa – apa lagi… dan lebih dari itu… aku…, aku.. seperti merasakan… sebuah kedamaian. Aku bisa beristirahat dengan tenang, dan siap menghadap tuhan sang pencipta.
(Firman Adiyatma in Short Story The Man Who Stares At the Sun)
THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar